Ilustrasi |
SobatJateng - Tak banyak yang mengetahui, dan dari yang mengetahui, tak banyak yang menyadari, organisasi Islam NU (Nahdlatul Ulama) didirikan di antaranya karena perkara yang berkaitan dengan diberangusnya apa yang sekarang disebut sebagai ‘pusaka budaya’ (cultural heritage). Tentu saja, tahun 1926, tahun berdirinya NU, konsepsi ini belum dikenal dan keprihatinan terhadap ‘pusaka budaya’ itu masih terbatas dalam bingkai keagamaan.
Sekarang penting menyegarkan kembali ingatan ini karena, kemunculan gerakan-gerakan Islam garis keras di dalam dua dekade terakhir ini–sejak Taliban hingga ISIS—selalu diwarnai dan diiringi dengan aksi-aksi penghancuran bangunan-bangunan pusakabudaya, baik dari peninggalan peradaban Islam sendiri maupun luar Islam. Sebagai contoh terkenal adalahketika kelompok Taliban menguasai Afghanistan pada awal tahun 2000an, atas fatwa Mullah Mohamad Omar, mereka menghancurkan dua patung Budha Bamiyan, masing-masing tingginya 53 meter dan 38 meter, karena dianggap sebagai simbol paganisme. Akibat pandangan teologis yang sempit tersebut, pusaka dunia yang berusia 2000an tahun itu sirna, dan jejak sejarah peradaban masyarakat, dikubur begitu saja.
Baru-baru ini, tak lama setelah Presiden Irak mengumumkan keberhasilan menguasai kembali Mosul –kota kedua terbesar di Irak—dari penguasaan ISIS, ASOR CHI, lembaga yang perhatian pada masalah pusaka budaya, melaporkan pengrusakan dan kerusakan puluhan situs pusaka budaya. Pada 12 Juli 2017, mereka telah melaporkan 87 insiden pengrusakan pusaka agama termasuk masjid (47 insiden), gereja (26 insiden), tempat suci (10 insiden), dan pemakaman (4 insiden). Mereka juga mendokumentasikan 27 insiden pengrusakan situs arkeologi, termasuk 24 di Niniwe dan satu di Bashtapia, Qara Serai, dan Deir Mar Elia. Secara keseluruhan, ASOR CHI telah mencatat kerusakan 102 situs di Mosul.
Sikap reaksioner ini ternyata tidak ditujukan kepada pusaka budaya di luar Islam saja. Di Libya, tak lama setelah jatuhnya rezim Moamar Khadafy dan suasana masih dalam transisi, kelompok-kelompok Salafi radikal menghancurkan makam tokoh sufi Abdullah al-Sha’ab dan makam sekitar 50 sufi di kompleks Masjid al-Sha’ab tersebut. Selain itu, di lain tempat, mereka juga meluluhlantakkan makam Abdel Salam al-Asmar di komplek Masjis al-Asmar. Menurut kabar, kelompok salafi ini juga sempat hendak menghancurkan makam-makam sufi lainnya di Mesir dan Mali. Mereka menganggap makam tersebut menjadi tempat pemujaan yang dilarang keras oleh Islam.
Bukan mustahil, beriring penyebaran kelompok ini, maka sejumlah pusaka budaya di Indonesia juga akan ada dalam ancaman. Karena itu, penting jika masalah pusaka budaya ini kembali dibicarakan. Kali ini bukan semata-mata sebagai masalah keagamaan, tapi juga masalah kebudayaan dan peradaban, dengan mempertimbangkan kedudukan NU, kelompok Islam terbesar di Nusantara, yang ajaran dan sejarahnya memiliki potensi dalam pemeliharaan pusaka budaya.
Kilas Balik
Tahun Oktober 1924, Abdul Aziz Bin Sa’ud yang berorientasi dan didukung oleh ulama Wahabi merebut kawasan Hijaz dari tangan Syarif Husein, yang menguasai sejak runtuhnya Daulah Islamiyyah di bawah kekuasaan Turki Usmani tahun 1916. Segera sesudah itu, wilayah yang membawahi dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, sesuai dengan paham Wahabi, dibersihkan dari unsur-unsur yang dianggap sebagai bid’ah (heretic) dan kemusyrikan. Makam-makam para sahabat dan keluarga Nabi Muhammad, yang berusia berabad-abad, di dalam dan di sekitar kota Mekkah dihancurkan dan diratakan karena dianggap sebagai pusat kemusyrikan. Ibadah-ibadah keagamaan yang bersifat perayaan dan festival dilarang dipraktikkan.
Kebijakan politik dan budaya rezim Sa’udini mengundang reaksi dari para ulama di Nusantara. K.H. Wahab Chasbullah dan beberapa ulama lain,meminta agar utusan Hindia-Belanda dalam Kongres Mekkah Tahun 1926, yang digelar Ibnu Sa’ud untuk mendukung legitimasinya sebagai penguasa Mekkah, memintajaminan Ibnu Sa’ud untuk menghormati mazhab Syafi’i dan bersikap toleran terhadap praktek keagamaan tradisional, tarekat dan ziarah. Tetapi rupanya delegasi Hindia-Belanda yang dipilih dalam Kongres Umat Islam V (Februari 1926), yakni Cokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah) tidak memenuhi permintaan ini.
Karena itu, Kiai Wahab, juru bicara paling vokal dari kiai pesantren ini mendorong para ulama terkemuka dari Jawa Timur khususnya untuk membentuk delegasi sendiri. Terbentuklah ‘Komite Hijaz’, mengacu ke nama kawasan yang kemudian diubah menjadi ‘Saudi’. Untuk lebih memperkuat tekanan, komite ini kemudian mengubah diri menjadi sebuah organisasi bernama ‘Nahdlatoel Oelama’ (Kebangkitan Para Ulama). Delegasi ini kemudian berangkat sendiri ke Mekkah untuk menemui Ibnu Sa’ud. Peristiwa pembentukan Komite Hijaz itu berlangsung pada 31 Januari 1926, yang kini menjadi acuan hari lahir NU.
Dalam opininya “The Destruction of Mecca” di New York Times tahun 2014 lalu, Ziauddin Sardar, cendikiawan Pakistan, redaktur Critical Muslim dan penulis buku “Mecca: The Sacred City”mengeluhkan orientasi pembangunan fasilitas-fasilitas untuk jamaah haji di Mekkah yang beringas padapusaka budaya dan lapar dahaga pada keuntungan semata. Sebagai contoh, menara jam raksasa (Makkah Clock Royal Tower)dengan tinggi 601 meter yang selesai dibangun pada 2012, menurut Sardar, didirikan di atas sekitar 400 situs makam yang memiliki nilai budaya dan sejarah, termasuk beberapa bangunan tua yang berusia berabad-abad. Benteng Ajyad, yang dibangun sekitar tahun 1780, untuk melindungi Mekkah dari serangan bandit dan penjarah kini jadi komplek gedung pencakar langit. Sedangkan rumah Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad, telah berubah menjadi toilet dan di atas rumah Abu Bakar, sahabat terdekat nabi dan khalifah pertama, berdiri Hotel Hilton.
Kecenderungan ini, menurut Sardar, berlangsung sejak pertengahan tahun 1970an. Namun jelas titik mangsa yang ditetapkannya itu meleset, dan sejauh kasus dan motif budaya-keagamaan pendirian NU menunjukkan, kecenderungan itu telah berlangsung sejak awal kehadiran rezim Sa’ud dan terus berlangsung hingga kini.
Dengan demikian, pemberangusan terhadap pusaka budaya di dunia Islam berlangsung dalam dua bentuk: pertama, yang ‘resmi’, atas nama pembangunan seperti yang dipraktikkan pemerintah Saudi, dan mungkin banyak pemerintahan di dunia Islam lainnya, hanya tidak terpantau dunia internasional. Kedua, yang ‘ganas’ seperti dijalankan oleh kelompok-kelompok seperti ISIS, atas nama pemberantasan bid’ah dan kemusyrikan. Namun keduanya sama dalam semangat maupun akibatnya, kebencian dan kehancuran pusaka-pusaka budaya.
NU dan Pusaka Budaya
Dengan latar belakang itu, tentu tak perlu dipertanyakan lagi bagaimana perhatian NU pada pusaka budaya. Jelas sekali, berseberangan dengan kalangan Muslim yang berorientasi Wahabi, NU sebagai varian lain dari Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja)merupakan pendukung utama pemeliharaan pusaka budaya ini. Bahkan hal ini bisa dikatakan merupakan bagian inheren dari ajarannya.
Pusaka budaya di sini tentu bukan hanya merujuk pada yang fisik dan berwujud tersebut (tangible heritage), tapi juga pada nilai, ajaran dan pandangan (intangible heritage). UNESCO mengartikan cultural heritage sebagai: artefak-artefak fisik dan atribut tak berwujud dari kelompok atau masyarakat yang diwarisi dari generasi masa lalu, dipertahankan pada masa sekarang dan didedikasikan untuk kepentingan generasi masa depan.
Sudah umum diketahui bagaimana pengalaman kesejarahan dan pengetahuan sosial-keagamaan yang dibentuk sejak awal Islam, seperti tertera kemudian dalam khazanah ‘kitab-kitab kuning’ dari manca negara maupun Nusantara, hingga kini merupakan pusaka budaya yang terus dipelajari, diolah, dan pada saat yang sama akan selalu diperkaya untuk menjadi acuan oleh kalangan warga NU. Kekayaan pusaka budaya bisa menjadi modal sosial bagi perencanaan sosial di masa depan. Di dalam visi yang menghormat pada pusaka masa lalu, terdapat misi untuk membangun masa depan. Kedewasaan pandangan dalam melihatpermasalahan masa kini dan sekaligus pada masa depan pada hakikatnya dipandu oleh kearifan pengetahuan pada masa lalu.
Bisa dikatakan bahwa NU –bersama organisasi-organisasi sehaluannya seperti Nahdlatul Watan (NW) di NTB, Al-Wasliyah dan Perti di Sumatera, Al-Khairat di Palu atau DDI (Darud Dakwah wal Islam) di Sulawesi, untuk menyebut beberapa adalah benteng utama pemelihara dan pelestari pusaka-pusaka budaya. Tidak aneh, kalau mereka disebut sebagai organisasi ‘islam tradisi’, karena begitu besar penghormatan pada tradisi. Di dalam penghormatan pada tradisi itulah, terbangun sikap kosmopolitan, yang sama sekali lain dari dan bukan sikap ‘tradisional’, seperti yang selama ini secara pejoratif dilekatkan pada mereka.
Setidaknya ada tiga ajaran di dalam lingkungan pesantren dan NU ini yang memiliki dampak tidak langsung pada pemeliharaan pusaka budaya. Artinya, ajaran itu sendiri dihadirkan bukan untuk tujuan pemeliharaan pusaka budaya, tetapi dampak dan pengaruhnya secara tidak langsung membawa pada pemeliharaan dan pelestarian pusaka budaya.
Pertama, adanya ajaran ‘sunnah’-nya ziarah kubur. Berbeda dengan kalangan Islam puritan, NU sudah terkenal meyakini pentingnya secara spiritual melakukan ziarah kubur, baik ke makam orang tua, saudara, dan tak terkecuali para ulama dan pemimpin. Selain dimaksudkan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, ziarah diyakini akan melemaskan dan mencairkan hati, karena ziarah akan mengingatkan orang pada kematian, pada keterbatasan, pada kesadaran bahwa akhirnya orang akan meninggalkan dunia yang fana ini juga.
Ajaran ini bertemu dengan keyakinan pada ‘karomahwali’, seorang yang dianggap suci, yang berkah kesuciannya terus mengalir dan memancar. Penghormatan kepada para orang suci ini diwujudkan di antaranya dengan menziarahi makamnya. Tak usah disangsikan lagi bertahan dan lestarinya makam-makam para wali baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lain-lain disebabkan karena adanya ajaran keyakinan pada orang suci dan tradisi ziarah kubur ini. Situs-situs ziarah ini menjadi ‘living heritage’ yang diwarisi dari generasi ke generasi. Hampir tak perlu lagi ada semacam ceramah pentingnya menjaga ‘pusaka budaya’ karena situs-situs ini dijaga dan dipelihara oleh ajaran yang telah melekat dan membentuk pandangan kosmologi mereka.
Kepercayaan ini sendiri berjumpa dengan tradisi-tradisi lokal pada penghormatan terhadap leluhur di berbagai suku di Nusantara. Di Jawa misalnya, kebiasaan ziarah ke makam leluhur ini membentuk tradisi ‘nyekar’ dan ‘nyadran’ dengan berbagai perniknya. Nilai tradisi ini jadi berlipat ganda, karena bukan saja di sana ada yang disebut sebagai ‘pusaka budaya benda,’ tapi juga mencakup di dalamnya ‘pusaka budaya tak benda.’ Tak aneh, kalau kita membuka Ensiklopedi NU (2013), kita akan berjumpa dengan lema ‘ziarah kubur’ dan ‘Nyekar’/‘Nyadran’ ini. Keduanya dianggap sebagai bagian dari tradisi penting di dalam NU.
Pemeliharaan terhadap makam-makam ini akan selalu diiringi dengan pemeliharaan terhadap masjid atau musala yang biasanya ada di sebelah kompleks makam tersebut. Makam dan masjid, atau masjid dan makam, umumnya berada dalam satu kesatuan kompleks bangunan yang tak terpisahkan. Makam Sunan Kudus menyatu dengan masjid Sunan Kudus yang terkenal tersebut, untuk menyebut satu contoh saja.
Barangkali yang penting disadari juga adalah kelenturan arti ‘makam’ itu sendiri. Makam pada kenyataannya tidak selalu merujuk pada ada sosok ‘tokoh’ yang bersemayam di dalamnya. ‘Makam’ bisa juga bermakna suatu benda atau artefaks yang pernah digunakan dan ditinggalkan sang tokoh suci tersebut. Makam Syekh Yusuf di Makassar misalnya menurut beberapa pendapat hanyalah sorbannya saja, karena makamnya yang sebenarnya ada di Cafe Town, Afrika Selatan. Kalau kita berziarah ke kompleks Makam Sunan Ampel, maka kita akan menjumpai di sana sebuah situs bertuliskan ‘Makam Sunan Kalijaga’. Diyakini bahwa itu adalah bekas petilasan Sunan Kalijaga, dan bukan makam Sunan Kalijaga dalam pengertian jasadnya. Di perbatasan antara Tuban dan Rembang ada kampung bernama Bonang, karena di situ diyakini ada ‘makam Sunan Bonang’ yang terus diziarahi. Tapi yang dimaksud adalah petilasan Sunan Bonang. Mungkin tak aneh dengan konsepsi ini, kadang ada lima makam seorang tokoh, seperti makam Syekh Yusuf yang ada di Banten, Sumenep, Srilangka, Afrika Selatan dan Makassar sendiri.
Kedua, ajaran mengenai wakaf.Wakaf adalah bentuk derma di dalam tradisi Islam, entah berupa tanah untuk masjid, pemakaman, sekolah, perkebunan dan lain-lain, atau bangunan yang berdiri di atas sebuah tanah, yang digunakan untuk kepentingan publik. Masjid, pemakaman, sekolah, panti asuhan, bendungan, taman dan lain-lain banyak berasal dari wakaf masyarakat, baik individual maupun bersama-sama. Wakaf adalah tradisi yang tua, yang mengiringi perkembangan peradaban Islam.
Diyakini bahwa orang yang memberikan wakaf akan beroleh ganjalan pahala yang besar yang terus mengalir sepanjang wanah dan bangunan wakaf tersebut terus digunakan. Masalah fiqih keagamaan muncul berkaitan dengan pendapat bagaimana kalau bangunan wakaf tersebut –entah berupa masjid, sekolah, gedung pertemuan, dan lain-lain—sudah tidak fungsional atau hancur digantikan dengan yang baru? Sebagian ulama berpendapat bahwa ganjaran pahala wakaf tersebut sudah tidak mengalir lagi. Dalam hal inilah, untuk menghormati jasa para penderma wakaf tersebut, tidak mudah dan gampang bagi sejumlah kalangan untuk menghancurkan bangunan yang berasal dari wakaf dan menggantinya dengan yang baru. Kalaupun perombakan akhirnya harus dilakukan karena alasan fungsi, misal karena perlu perluasan atau karena sudah tidak fungsional lagi, maka biasanya akan selalu ada bagian yang disisakan.
Hipotesis saya alasan seperti inilah di antaranya yang melatarbelakangi mengapa misal masjid peninggalan Kiai Wahab Chasbullah yang berdiri persis di depan ramah beliau masih tegak hingga kini. Demikian juga dengan sejumlah masjid lama di beberapa pesantren seperti di Pesantren Buntet, Cirebon.
Kasus yang menarik mungkin di Pesantren Tebuireng, Jombang. Jika Anda berkunjung ke pesantren ini dan mampir ke masjidnya, mungkin Anda akan heran karena di dalamnya ada musala kecil. Musala kecil itu adalah peninggalan Kiai Hasyim Asy’ari, yang dibangun beriringan dengan pendirian pesantren legendaris ini. Musala itu tidak dihancurkan ketika terjadi perluasan masjid dan dibiarkan utuh, mungkin di antaranya karena alasan wakaf ini sekaligus tentu saja sebagai takzim kepada Hadratussyaikh Hasyim As’ayri. Pola-pola seperti bisa kita saksikan di banyak tempat, misal dengan menyisakan mimbar atau pintu gerbangnya. Paling terkenal tentu Masjid Menara Kudus, yang menyisakan beberapa pintu gerbang lamanya.
Ketiga, ajaran tasawuf. Tak bisa disangsikan lagi tasawuf sebagai ajaran Islam memiliki pengaruh yang luas dan mendalam. Sebagai suatu ajaran esoteris, ia lebih perhatian pada isi daripada bungkus. Dengan pemahaman ini, ia bisa bertemu dan menerima kehadiran yang lain.
“Jiwaku terbuka bagi setiap bentuk, ia bagaikan padang rumput bagi kijang-kijang, sebuah biara bagi rahib-rahib Kristen, kuil bagi berhala-berhala, Ka’bah bagi orang yang menunaikan ibadah haji, meja bagi Taurat dan Quran. Aku menganut Agama Cinta. Kemana pun arah yang dituju oleh kafilah-Nya agama Cinta adalah agamaku dan keyakinanku,” demikian syair sufi Muhyiddin ibn Arabi, yang meringkas dengan baik bagaimana ajaran tasawuf tersebut.
Di kalangan pesantren dan NU, tasawuf menduduki tempat yang tinggi. Para guru sufi mendapat tempat yang terhormat dan memiliki pengaruh keagamaan yang besar melalui kelompok-kelompok tarekat. Sudah barang tentu tasawuf ini –baik tasawuf akhlaki maupun falsafi-- membentuk pandangandunia mereka, termasuk pada apa yang disebut sebagai bangunan ‘warisan budaya.’
Dikaitkan dengan ‘bangunan’, maka ia adaptif dan bisa menerima bentuk apapun. Yang penting baginya isi dan substansinya menuju dan menghormat pada yang ilahiyah. Dengan pandangan ini, maka bentuk-bentuk yang secara arsitektural bukan bagian dari tradisi Islam, bisa diterima dan dibiarkan tumbuh sebagaimana adanya. Barangkali karena pemahaman sufistik ini, maka pemakaman-pemakaman seperti Sendang Dhuwur di Paciran, Lamongan, Jawa Timur, Pemakaman Sunan Bayat di Klaten, dan berbagai makam wali dengan pola ruang dan arsitektural Hindu, masih lestari hingga kini.
Kritik
Apakah ajaran ini dengan sendirinya mendukung pelestarian pusaka budaya tersebut? Jawabnya ya, sejauh secara fisik bangunan makam-makam dan masjid-masjid para ulama dan wali yang usianya ratusan tahun itu masih berdiri dengan tegak.
Tetapi jika kita telusuri lebih lanjut, mungkin jawabnya tidak seluruhnya ‘ya’. Makam-makam dan masjid-masjid tua itu memang masih ada dan masih diziarahi ribuan orang. Kendati demikian, karena hanya menekankan fungsi dan terbatasnya perhatian pada nilai ekstrinsiknya, maka banyak dari makam-makam itu tidak memiliki nilai pusaka budaya secara ekstrinsik. Sebagian besar bangunan pusaka budaya itu telah dipugar dan pemugaran ini ‘terkesan’ banyak mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian. Jika kita datang berziarah ke makam Sunan Kalijaga (Kadilangu Jawa Tengah), Syekh Burhanuddin Ulakan (Pariaman, Sumbar), atau Syekh Arsyad Banjar (Martapura, Kalsel), untuk menyebut beberapa contoh, kita memang sedang berada di sebuah makam tokoh yang hidup ratusan tahun lalu dan ajarannya masih diikuti hingga kini. Kendati demikian, secara fisik kita berada di dalam bangunan yang baru berdiri 10-20 tahun lalu, karena misalnya menyoloknya keramik-keramik model baru sebagai bagian dari pemugaran tersebut. Atau berubahnya unsur bangunan masa lalu dan menghilangnya jejak sang tokoh di dalamnya.
Pemeliharaan pusaka budaya memiliki prinsip dasar dan umum, yaitu sebisa mungkin mempertahankan bentuk dan bahan awalnya. Penggantian dengan alasan bentuk dan bahan sudah ketinggalan zaman, karena itu dicari bentuk dan model yang baru, bertentangan dengan prinsip ini.
Cukup jelas, secara teologis, ajaran Aswaja pesantren dan NU mendorong dan menyokong pemeliharaan dan pelestarian pusaka budaya. Tentu saja nilai yang sangat berharga ini akan lebih lengkap jika disertai kesadaran dan pengetahuan akan pentingnya juga menjaga dan memelihara secara fisik bangunan pusaka budaya tersebut.
Sebagai catatan akhir, tulisan ini lebih melihat Islam –yang diwakili oleh NU di sini—dan hubungannya dengan pusaka budaya dari lingkaran Islam sendiri. Lalu bagaimana dengan pusaka budaya dari tradisi-tradisi agama lain? Kita akan bahas hal ini dalam tulisan yang lain.
Penulis adalah peneliti di LIKE-Indonesia (Lumbung Informasi Kebudayaan-Indonesia), Yogyakarta
Sumber : Nu.or.id
No comments
Post a Comment